Kamis, 28 Oktober 2010

Khitan Perempuan (2)

Lebih lanjut, yusuf al-qardhawi mengatakan bahwa khitan diberbagai negara islam tidak sama. Ada negeri yang tradisi penduduk muslimnya megkhitankan anak perempuan antara lain indonesia, malaysia, brunei darussalam. Namun ada yang tidak melakukannya antara lain negara-negara timur tengah. Pengkhitanan yang paling cocok khususnya bagi anak perempuan adalah pengkhitanan yang sedikit dan ringan, namun pada akhirnya terserah pada orang tuanya(optional). Lain halnya dengan khitan anak laki-laki. Hal itu merupakan syiar islam. Karena demikian pentingnya, ulama fiqh mengeluarkan fatwa bahwa jika seorang imam atau khalifah melihat umat meninggalkan syiar itu, ia wajib memeranginya sampai mereka kembalikepada sunnah yang menjaadi identitas umat islam itu.
Syeh mahmud syaltut, ulama dari mesir, berpendapat bahwa khitan termasuk masalah ijtihad, karena tidak ada nash (dalil) al-qur’an atau hadits sharih (jelas penunjukkannya)yang menjelaskan masalah khitan. Olej karena itu, syaltut mengemukakan kaidah yang mengatakan,”Membuat sakit orang yang masih hidup tidak boleh dalam agama, kecuali kalau ada kemashlahatan-keaslahatan yang kembali kepadanya melebihi rasa sakit yang menimpanya”. Dalam hal ini, meyuntik, membedah bagian tubuh pasien dibolehkan, karena manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Begitu juga masalah khitan.
Dengan demikian pelaksanaan khitan bagi perempuan juga harus di dasarkan pada asas kemaslahatan. Jika ada alasan dan prosedur medis yang membawa mashlahat bagi perempuan dalam khitan, maka mmenjadi boleh bahkan sunnah. Sebaliknya bila menimbulkan efek negatif (madharat bagi perempuan) seperti dapat menghilangkan kenikmatan seksual perempuan maka hukumnya tidak boleh. Ini berbeda jika pelaksanaan praktek khitan perempuan yang hanyamencolek ujung klitoris dengan jarum secara ringan untuk melepas kulit atau tudung klitoris saja, maka justru akan membawa maslahat. Karena jika tudung klitoris masih utuh, menurut para ahli seksologi, perempuan justru akan kesulitan mencapai orgasme dan kenikmatan seksual. Dengan khitan yang mengikuti prosedur yang benar tersebut akan membantu menumbuhkan kepekaan (sensualitas dan sensitivitas) seksual perempuan didalam bersenggama sehingga dapat mencapai orgasme tanpa kesulitan.
Menurut ahli kesehatan, khitan bagi laki-laki mendatangkan maslahat atau manfaat besar, yaitu menjaga kebersihan zakar dan mencegah timbulnya penyakit kelamin, yang bisa mendatangkan penyakit kanker rahim bagi wanita yang disetubuhi. Oleh karena itu, kulup yang menutupi kepala zakar (hasyfah) harus dipotong atau dihilangkan untuk menghilanhkan penyakit kelamin tersebut. Dari sudut pertimbangan ini, menurut syaltut, islam mewajibkan khitan bagi laki-laki. Lain halnya dengan perempuan, tampaknya tidak ada faktor kuat sebagaimana laki-laki yang mengharuskan khitan bagi mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mewajibkan khitan dan hanya disunnahkan atau dimubahkan tergantung kepada pertimbangan kemaslahatan.
Prosedur pelaksanaan khitan yang dikehendaki syariat islam adalah dengan hanya meleppas tudung klitoris sebagaimana sabda rosulullah saw. Yang dirriwayatkan oleh ummu athiyah, “ada seorang juru sunat bagi anak perempuan madinah, maka rosulullah berpesan,’jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan merupakan kecintaan suami’”. Dalam riwayat abu Dawud diriwayatkan sabdanya, “Potong tipis saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami”.
Dengan demikian keberatan yang dikemukakan dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan khitan perempuan tidak ada tempatnya bila hal itu dilakukan dalam rangka kemaslahatan yang lebih besar dengan memberikan kemuliaan bagi kaum perempuan melalui kontrol dan penyaluran libidonya secara optimal sehingga cukup dipotong sedikit dan dilakukan seringan mungkin agar tidak membahayakannya. Disamping itu, selama “perlakuan”terhadap fisik wanita untuk menjadi identitas, kebutuhan dan kelazimannya (termasuk kelaziman agama) adalah suatu hal yang wajar dan bukan merupakan tindak kekerasan atau penganiayaan sebagaimana tradisi tindik kuping dan hidung bagi kaum wanita yang tidak diprotes oleh kaum feminis.
-shof-

sumber:
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih aktual jawaban tuntas masalah kontemporer. Gema Insani Press: Jakarta

Tidak ada komentar: